Sabtu, 26 Februari 2011

Pertarungan Diri

Pernahkah Anda mendengarkan suara-suara dari dalam diri Anda? Misalnya, suatu hari Anda melihat sejumlah uang tergeletak di pelataran Masjid lalu tiba-tiba terdengar suara dari dalam diri Anda yang menyuruh Anda mengambilnya dan berkata bahwa itu adalah rezeki dari Allah, namun ketika Anda hendak mengambil uang tersebut tiba-tiba ada suara lain yang menyuruh Anda untuk membiarkannya saja dan tidak mengambilnya karna mungkin saja pemiliknya sedang mencarinya.

Pernahkan Anda mengalami hal serupa? Jika pernah, berarti benar bahwa Anda adalah seorang manusia. Suara-suara itu berasal dari dorongan nafsu dan nurani, semua makhluk yang bernama manusia pasti memilikinya. Adanya hawa nafsu dalam diri kita adalah karna kita adalah makhluk Allah yang diciptakan dari tanah, dan sebagaimana binatang, kitapun memiliki naluri-naluri yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu, jika tuntutan nafsu itu kita penuhi maka timbullah kepuasan dan kenikmatan.

Nafsu membuat kita bergerak untuk mencapai sesuatu. Berbeda dengan binatang yang dorongan nafsunya hanya sebatas makan, tidur dan berhubungan intim, manusia memiliki dorongan nafsu yang lebih kompleks. Allah mengaruniai kita akal pikiran sebagai sarana mencapai apa yang kita inginkan, karna dorongan nafsulah dunia ini terus berkembang. Dengan kecerdasan kita bisa mengolah dunia untuk memenuhi kebutuhan kita.

Nafsu membuat kita mampu bertahan hidup dan berkembang biak namun nafsu yang tak terkendali akan membuat kita menjadi makhluk yang lebih hina dari binatang. Karna itulah Allah menganugrahi kita nurani yang dapat mengekang tuntutan nafsu. Tugas nurani adalah memastikan bahwa kita melakukan segala sesuatu dengan benar. Nurani berisi norma-norma yang mengatur kehidupan manusia dan membantunya menjadi manusia yang berbudi pekerti.

Kita akan senantiasa berhadapan dengan nurani setiap kita hendak menuruti apa yang diinginkan nafsu. Nurani akan menyeleksi terlebih dahulu apakah keinginan tersebut sesuai standart kebenaran atau tidak, jika tidak sesuai, maka nurani akan menghalanginya sehingga terjadilah konflik dalam diri kita. Di satu sisi kita dituntut oleh nafsu untuk memenuhi hasratnya namun disisi lain nurani tidak mengizinkannya.

Jika kita mengikuti suara nurani, mungkin nafsu akan merengek dan membuat kejiwaan kita sedikit terganggu. Namun, jika kita tetap berpegang teguh pada apa yang dikatakan nurani maka lambat laun nafsu akan mengerti sehingga berhenti menuntut. Kemudian nafsu akan menyesuaikan tuntutannya secara lebih realistis. Nafsu itu seumpama bayi usia 2 tahun, jika dia tidak segera disapih maka dia akan terus menyusu, dan jika dia segera di sapih maka dia akan menangis, namun lambat laun dia akan mengerti dan berhenti menyusu.

Menahan keinginan nafsu akan membuat nurani semakin terasah dan bersinar sehingga kita memiliki bashiroh (mata hati) yang dapat melihat hakikat kebenaran. Dengan menahan nafsu, maka jiwa akan semakin tentram dan hati menjadi bersih. Semakin bersih hati kita maka hati kita akan semakin tersembuhkan dari berbagai penyakit sehingga mencapai hati yang hidup (qolbun salim). Hati yang hidup adalah dambaan setiap mukmin karna dengannya derajat kemuliaan diraih.

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhan-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal (nya).” {QS an-Nazi’at : 40 – 41}

Namun jika nafsu diikuti, maka kita akan semakin terhina. Setiap kali kita berbuat dosa maka noda hitam akan semakin melekati hati kita hingga menjadi gelap. Semakin gelap hati kita maka pandangan kita akan semakin kabur dan hatipun mengalami sakit kronis. Hatipun terjatuh ke dalam kondisi hati yang sakit (qolbun maaridh). Dengan keadaan seperti itu jiwa kita akan terlunta-lunta dan hidup dalam kebingungan.

Jika sakit yang diderita oleh hati tidak juga tersembuhkan, maka lambat laun hati akan mengalami sekarat dan akhirnya mati. Lalu kitapun jatuh pada keadaan yang paling parah yaitu, hati yang mati (qolbun mayyit). Jika hati telah mati maka terputuslah harapan. Kita tidak akan lagi sanggup melihat cahaya kebenaran.

Kehidupan yang terus berjalan justru hanya akan menambah dosa-dosa kita. Kita hidup hanya untuk memenuhi tuntutan nafsu kita yang tak terbatas. Kitapun akan bersaing dan berlomba dengan manusia untuk hal itu. Iri hati, dengki, dendam, tamak dan kebencian menggerogoti hati kita. Sehingga orang-orang membenci kita, langit dan bumi membenci kita, malaikat membenci kita, dan bahkan Sang Pencipta membenci kita.

Manusia adalah makhluk yang begitu rumit, didalamnya terdapat seperangkat sistem yang mengatur kehidupannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan bahwa manusia memiliki hati yang menentukan baik atau buruk perangainya. Hati bisa kita pahami sebagai alam bawah sadar atau pra sadar. Kualitas hati itu sendiri terbentuk dari hasil kompromi nurani, nafsu dan diri kita sendiri sebagai pengambil keputusan.

Nurani akan senantiasa mengajak pada kehidupan terhormat dan mulia. Sementara sebagian besar nafsu senantiasa mengajak kita pada hal-hal yang menghinakan, nafsu yang demikian dikenal dengan sebutan nafs al-ammarah bis suu’. Demi menghindari konflik dan menjaga keselarasan dalam dirinya, beberapa orang mencoba menurunkan standar kebenaran yang sudah ditetapkan nurani, beberapa norma dan hukum diakali sedemikian rupa sehingga akhirnya mereka bebas melakukan maksiat tanpa rasa bersalah.

Satu hal yang seharusnya membuat kita lebih waspada terhadap nafsu adalah karakternya yang mirip jebakan tikus. Jika kita sudah masuk kedalamnya, sangat sulit bagi kita untuk keluar. Menuruti nafsu bukan saja membuat kita semakin dahaga untuk menuruti nafsu yang lain tapi juga membuat kita ketagihan. Meskipun kita sangat ingin keluar darinya untuk meraih hidup yang mulia, tapi nafsu akan senantiasa menarik kita kembali.

Ada sebuah kisah tentang seorang remaja putri yang sering ditinggal orangtuanya bekerja. Wanita itupun tinggal serumah dengan kakak lelakinya. Kakak lelakinya begitu menyayanginya sepenuh hati hingga timbullah perasaan cinta di dalam diri mereka (cinta sedarah adalah jenis gangguan kejiwaan yang biasa dikenal dengan istilah Oedipus Complex_pen). Cinta itu menjadi begitu dalam dan memicu hasrat muda kedua kakak beradik itu, terlebih karna kurangnya kasih sayang orangtua.

Akhirnya keduanyapun melampiaskan hasrat mereka dengan memadu kasih layaknya suami istri, dan itu terus terjadi berulang-ulang. Hingga suatu ketika nurani wanita muda itu berontak. Wanita itu merasa bersalah dan merasa begitu kotor. Jiwanya terus menerus dicabik-cabik dari dalam oleh nuraninya sendiri, begitu pedih dan menyakitkan hingga hari demi hari pipinya senatiasa basah oleh airmata. Keadaan jiwa yang seperti itu dikenal dengan sebutan nafs al-lawwamah atau jiwa yang menyesali dirinya.

Wanita itupun memutuskan untuk menghentikan perbuatannya. Ketika orangtuanya pergi bekerja, ia segera masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya rapat-rapat agar kakaknya tidak mendekatinya. Namun ketika kakaknya mendekati pintunya dan membujuknya, hasrat dalam diri wanita itu kembali bergejolak. Tanpa sadar wanita itu sudah membuka pintunya lebar-lebar untuk kakaknya dan kembali melakukannya.

“Ketahuilah bahwa balasan itu berbanding lurus dengan perbuatan. Hati yang telah terpaut dengan sesuatu yang harom, setiap kali dia berhasrat untuk meninggalkan dan keluar darinya, pada akhirnya kembali ke dosa semula.” [Ibnul Qoyyim al-Jauziyah]

Semakin sering nafsu dituruti maka lambat laun tuntutan itu menjadi suatu kebutuhan yang jika kita meninggalkan kebiasaan itu maka hidup kita akan terasa janggal. Pada awalnya, menurutinya memberikan kenikmatan, tapi karna seringnya perbuatan itu dilakukan maka tubuh menjadi terbiasa sehingga kenikmatannya berkurang dan bahkan hilang. Pada akhirnya, nafsu menuntut dosa yang lebih besar dengan tidak meninggalkan kebiasaan lamanya.

Karna itulah, jangan sekali-sekali kita tergoda oleh perbuatan dosa. Mungkin Anda melihat orang-orang yang melakukannya begitu menikmatinya, padahal tidak. Jangan merasa iri terhadap seorang pemuda yang selama hidupnya asyik berganti-ganti pasangan, dan memiliki pacar-pacar yang cantik, karna kenikmatan yang mereka rasakan tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kenikmatan yang dirasakan seorang mukmin yang menikahi seorang mukminah secara halal.

Allah memberikan beragam kesenangan dunia kepada orang-orang berdosa justru sebagai hukuman. Karna tidaklah mungkin seseorang bisa merasakan kebahagiaan dalam dosa melainkan hanya pada awalnya saja. Andai kenikmatan dunia itu bagi Allah sebanding dengan sayap lalat, tentulah Allah takkan sudi memberikannya kepada para pendosa. Tapi karna begitu tidak berharganya, maka Allah memberikan saja kepada mereka.

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” {QS. al-An’am : 44}

Nafsu itu ibarat binatang liar. Tumbuh kembang kita menuju kedewasaan membuat kita harus menjinakkannya agar diterima dalam masyarakat dan juga nurani dalam diri kita sendiri. Namun, nafsu itu tetaplah seekor binatang yang sewaktu-waktu bisa kehilangan kendali dan menjadi buas jika kita melepaskan tali pengekangnya.

Syetan mengetahui hal itu. Dia pun menggunakan seribu satu macam cara untuk membujuk kita agar melepaskan rantai yang mengekang nafsu. Jika nafsu telah bebas maka akan sangat sulit bagi kita untuk mengendalikannya sehingga tiba-tiba saja kita sudah melakukan perbuatan tercela.

Jika perbuatan maksiat telah kita lakukan, maka kesalahan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita, bukan syetan. Syetan itu hanyalah pembisik, dia tidak punya kuasa untuk menggerakkan tubuh kita meski satu jaripun. Syetan itu seperti seorang salesman yang hanya menawarkan dagangannya, sedangkan keputusan untuk membeli atau tidak, sepenuhnya ada di tangan kita. Ketika kelak kita menudingkan jari telunjuk pada syetan atas kesalahan yang kita perbuat maka syetanpun membela diri,

“Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri.” {QS. Ibrohim : 22}

Sesungguhnya telah jelas bahwa syetan itu adalah musuh kita dan seumur hidupnya hanya digunakan untuk menjerumuskan kita ke lembah kehinaan. Mereka akan terus melakukan promosi dan mempercantik kemasan produknya. Mereka akan membuat tuntutan nafsu begitu indah hingga kita berminat. Jika tuntutan nafsu itu kita turuti maka syetan akan dengan mudah menyetir kita.

Mengikuti nafsu membuat nurani rusak sehingga tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Akal yang seharusnya digunakan untuk mengendalikan nafsu justru dijadikan alat untuk meraih keinginan nafsu. Mungkin kita mengira dengan menuruti nafsu akan membuat hidup terasa lebih nikmat, padahal justru sebaliknya.

“Nikmat yang paling agung adalah keluar dari hawa nafsu, karna hawa nafsu adalah tabir yang paling besar antara kamu dengan Allah.” (Muhammad ath-Thamastani)

Jika seorang manusia hidup tanpa mengenal Allah maka dunia akan mengombang-ambingkannya, karna seorang manusia yang jauh dari Allah akan dijadikan butuh kepada sesama manusia. Diapun menjalani hidup hanya untuk mengambil hati semua manusia, padahal kita tahu bahwa itu tidak mungkin bisa dicapai. Sehingga diapun akan senantiasa mengalami kegoncangan, kebingungan dan kegelisahan karna tidak memiliki prinsip hidup.

“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tentram.” {QS. ar-Ra’d : 28}

Jika kita menginginkan kehidupan yang lebih baik maka tidak ada jalan lain selain mengikuti nurani. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam menyarankan agar kita mengikuti suara nurani tatkala kita bingung untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Bagi orang mukmin, suara nurani begitu jelas terdengar. Tapi bagi orang fajir, suara nurani begitu samar dan bahkan tak terdengar.

“Sesungguhnya orang mukmin memandang dosanya seperti orang yang duduk di kaki gunung, ia takut tertimpa olehnya. Sedangkan orang fajir memandang dosa-dosanya layaknya lalat yang melewati hidungnya (yang mudah dihalau).” [HR. Bukhari]

Menuruti nurani bukan berarti kita harus senantiasa melawan kehendak nafsu, sama sekali bukan. Kita mengetahui bahwa nafsu telah melekat dalam diri kita dan kita takkan mungkin sanggup membunuhnya. Selalu menentang keinginan nafsu tanpa pengecualian malah bisa dibilang sebagai tindakan yang tidak manusiawi, karna itu artinya kita melawan kodrat.

Tugas nurani hanya membatasi tuntutan nafsu. Jika tuntutan nafsu itu tidak sesuai norma yang berlaku barulah nurani menghalanginya. Namun selama tuntutan nafsu itu tidak melampaui batas maka syah-syah saja kita menurutinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam pernah mencela sikap beberapa sahabat yang berlebihan dalam mengekang nafsu, seperti tidak mau menikah, menghidupkan semalam penuh untuk sholat malam, dan berpuasa terus menerus.

Beliau menyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak disukai Allah, beliau juga menyatakan bahwa orang yang berlebihan dalam mengekang nafsu tidak termasuk umatnya. Dalam al-Qur’an sendiri, Allah melarang kita mengikuti perbuatan rahbaniyah yaitu sepenuhnya memutuskan diri dari tuntutan nafsu, seperti yang biasa dilakukan para Pendeta dan Biksu. Karna bagaimana mungkin Allah Yang Mahapenyayang tega melihat hamba-Nya menyiksa dirinya?

“Seburuk-buruk kalian adalah yang hidup membujang. Demikian juga, seburuk-buruk yang meninggal di antara kalian adalah yang meninggal dalam keadaan membujang.” [HR. Ahmad]


Kita hanya dituntut untuk menahan nafsu, bukan membungkamnya. Karna jika setiap keinginan nafsu kita tolak begitu saja, nafsu akan berontak dan berteriak-teriak tak terkendali sehingga membuat kejiwaan kita terganggu. Pada akhirnya, bukan kemuliaan yang kita raih tapi malah dompet kita yang semakin menipis karna kita harus sering menemui Psikiater.

Untuk mengendalikan nafsu, kita bisa memberikannya pengertian dan motivasi. Kita perlu membujuk nafsu untuk bersabar. Karna jika kita bersedia meninggalkan jalan yang di haromkan Allah dalam menuruti keinginan nafsu, maka tuntutan nafsu itu akan kita dapatkan juga dalam keadaan halal. Pada akhirnya kita tidak saja mendapatkan apa yang diinginkan nafsu, tapi kita juga tidak perlu menghadapi konflik dengan nurani.

“Sesungguhnya, tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karna Allah Azza wa Jalla, melainkan pasti Allah akan menggantikan dengan sesuatu yang lebih baik bagimu.” [HR. Ahmad]

Amr al-Makki memberikan tips tentang cara mengendalikan nafsu, “Ilmu itu pemimpin, rasa takut adalah sopir dan hawa nafsu adalah penghalangnya, dia tak terkendali, licik dan penipu, hati-hatilah terhadap hawa nafsu dan kendalikan dengan siasat ilmu, siramilah ia dengan ancaman takut maka kamu akan mendapat yang kamu inginkan.”

Ilmu adalah sarana terbaik dalam mengendalikan nafsu, karna dengannya kita bisa memberikan bantahan terhadap rayuan syetan, dengannya pula kita bisa melihat mana yang lebih baik bagi kita. Rasa takut pada Allah (khouf) juga cukup efektif untuk mengendalikan nafsu. Mungkin sedikit menyakitkan, tapi hasilnya cukup memuaskan. Ini seperti kita mendorong anak kecil yang berada di tengah rel kereta api hingga terjatuh agar dia tidak tertabrak kereta api yang melaju dengan cepat di belakangnya.

Kecenderungan nafsu adalah beragam jenis kenikmatan hidup seperti wanita, anak-anak, kendaraan, gengsi, makanan lezat dan sebagainya, kita tidak bisa menyangkal hal itu. Tapi orang-orang berakal tentulah mau menahan diri untuk dari menikmatinya di dunia agar mereka mendapatkan ganti yang lebih baik dan lebih kekal di akherat. Mereka lebih memprioritaskan kehidupan dunia untuk menanam benih agar ketika mereka kematian menjemput mereka, mereka tinggal menikmati hasilnya.

“Hari ini hanya ada amal tanpa hisab, sedangkan esok hanya ada hisab tanpa amal.” (Ali ra)

Orang-orang mukmin yang mengetahui hakikat kehidupan tidak lagi memiliki minat terhadap kesenangan dunia. Karna mereka tahu bahwa meskipun manusia telah memiliki segalanya dan bisa melampiaskan nafsunya sekehendak hati, tetap saja mereka tidak dapat meraih kebahagiaan. Mungkin terasa janggal, namun kebanyakan orang-orang yang nampaknya bahagia ternyata menjalani hidupnya dengan penuh kesedihan.

Ben Franklin pada akhirnya harus bermusuhan dengan putra kesayangannya demi Nasionalisme, James Watt tidak dapat menghadiri pemakaman istrinya karna sedang berada di luar Negri, Bill Gates terlalu sibuk dengan proyeknya sehingga kehilangan waktu bersama keluarga, Socrates mencoba mati untuk memahami teori kematian yang begitu membingungkan, Charles Darwin mengalami depresi hebat setiap kali melihat keindahan ekor burung merak karna hal itu secara tidak langsung telah menghancurkan kebenaran teori evolusi, dan masih banyak lagi.

“Saya telah memiliki segalanya, kehormatan, kekuasaan dan seni namun didalam kehidupan ini saya tidak merasakan kebahagiaan kecuali hanya enam hari saja.” (Napoleon)

Dengan mengetahui hakikat dunia yang dipenuhi kesedihan dan kecemasan, maka orang-orang mukmin kehilangan minat terhadapnya, sehingga pada akhirnya mereka memilih kenikmatan yang lebih sempurna dan lebih kekal di syurga. Mereka pun memutuskan hubungan dengan ambisi semu terhadap dunia dan menyibukkan diri dengan bekerja kepada Allah dengan gaji yang akan di bayar penuh di belakang.

Nafsu dalam diri mereka tidak lagi banyak menuntut dan lebih menerima segala yang telah di anugrahkan Allah kepadanya (qona’ah). Mereka pun menengadahkan pandangannya ke langit. Jiwa mereka yang mulia tidak lagi sudi direndahkan oleh kenikmatan dunia. Manusia mulia tentulah lebih memiliki ambisi yang mulia, yaitu keridloan dari Allah.

“Wahai dunia, engkau begitu melelahkan, aku cerai engkau dengan talaq tiga.” (Ali ra)

Mereka mengetahui bahwa dunia itu penipu, sedangkan janji Allah itu adalah pasti. Keyakinan itu tertanam kuat ke dalam sanubari, membuat jiwa mereka merasakan kedamaian, keadaan inilah yang disebut dengan nafs al-mutmainah atau jiwa yang tenang.



“Hai nafs al-mutmainah, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas lagi diridloi-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” {QS. al-Fajr : 27 -30}

2 komentar:

Anonim mengatakan...

halo kang

winapurwokoadi.blogspot.com mengatakan...

halo juga. dengan siapa?

Posting Komentar

 
;