Minggu, 26 Desember 2010 0 komentar

Menetapkan Tujuan

Sebagaimana perahu di tengah samudra, kita tak bisa membiarkan perahu kita diam di tempat dan terombang-ambing di lautan ombak. Kita harus memutuskan kemana perahu kita akan dibawa. Kita bisa memutuskan untuk pergi ke Malaysia atau India atau Amerika atau China atau Antartika atau kemana saja, yang penting perahu kita harus punya arah. Tak peduli apakah pada akhirnya perahu kita akan sampai di tujuan atau malah hancur di tengah badai. Setidaknya hancur dalam perjuangan adalah sebuah tindakan yang masih dapat dibanggakan.

Kehidupan juga begitu. Kita harus punya target. Bagaimana kita bisa merasa puas jika kita tidak tahu apakah kita sudah sukses atau belum? Menetapkan tujuan adalah hal yang penting karna prediktor terbaik kebahagiaan seseorang adalah apakah dia memiliki tujuan atau tidak. Orang yang bahagia adalah mereka yang terus bergerak mendekati tujuan hidup mereka. Tak begitu penting tentang seberapa tingginya tujuan yang harus kita raih, yang penting adalah kepuasan yang akan kita dapatkan.

Banyak orang mengira bahwa semakin besar cita-cita yang digantungkan makin besar pula tingkat kebahagiaannya. Kenyataannya, orang-orang yang menentukan tujuan yang tinggi bagi diri mereka sendiri dan kemudian meraihnya, tidak lebih bahagia dari orang-orang yang mempunyai tujuan yang biasa-biasa saja dan kemudian berhasil mencapainya.

Dalam menetapkan sebuah tujuan, selain kita harus memiliki tujuan jangka panjang, kita juga harus memiliki tujuan jangka pendek. Jika kita terlalu fokus pada pencapaian prestasi yang terlalu muluk, maka akan sangat sulit sekali bagi kita untuk bisa merasakan kepuasan. Karna kita akan selalu merasa bahwa tujuan kita masih begitu jauh. Bahkan kita akan kecapekan sendiri hanya dengan membayangkannya.

Pernahkah Anda mendaki gunung? Mungkin kesuksesan bisa juga di ibaratkan dengan mendaki gunung. Jika Anda membayangkan bahwa tempat yang harus Anda tuju ada dipuncaknya maka Anda akan membayangkan betapa melelahkannya perjalanan yang akan Anda tempuh sehingga Anda mungkin akan mengurungkan niat untuk mendaki gunung.

Karna itulah dibangun pos-pos di sepanjang perjalanan ke puncak. Puncak gunung di ibaratkan sebagai tujuan jangka panjang, sedangkan pos-pos di sepanjang perjalanan di ibaratkan sebagai tujuan jangka pendek. Nah, dengan adanya pos-pos itu, Andapun akan lebih termotivasi.

Saat Anda berada di kaki gunung, tempat pertama yang akan Anda tuju adalah pos 1 yang jaraknya hanya 2 km, tidak terlalu jauh kan? Andapun dengan mudahnya mencapai pos 1 dan mendapatkan energi baru dari kepuasan yang Anda raih. Setelah istirahat dan berbahagia karna tujuan yang berhasil Anda raih, Andapun bersiap menuju tantangan berikutnya, saatnya menuju pos 2. Begitu seterusnya hingga akhirnya Andapun berhasil mencapai puncak.

Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa kesuksesan itu adalah jika kita berhasil meraih apa yang kita impikan, pernyataan itu memang ada benarnya tapi tidak sepenuhnya benar, kenapa? Karna nyatanya, tanpa adanya proses yang harus dilalui, banyak orang yang meski pada akhirnya berhasil meraih apa yang diimpiannya tidak merasa bahagia. Dengan memahami hal ini, kita bisa bersikap lebih bijak sehingga tidak akan mengambil jalan pintas untuk meraih impian kita.

Seorang siswa yang akhirnya meraih peringkat pertama dengan berbuat curang tidak merasa lebih puas dari siswa yang meraih peringkat keempat setelah ia mati-matian belajar. Mengenai hal ini KH Abdullah Gymnastiar pernah menguraikan pendapatnya, “Kesuksesan adalah ketika berbuat sesuatu, bukan kita mendapatkan sesuatu.” Jadi, perjuangan menuju pencapaian itu sendiri sudah merupakan kesuksesan.

Selain itu, kesuksesan bersifat subjektif. Hanya diri kita sendirilah yang tahu apakah kita sudah sukses atau belum. Orang lain tidak bisa menilai dan tidak berhak menilai. Jadi tidak selayaknya kita mengikuti saja keinginan orang lain tanpa kita mempertimbangkannya terlebih dulu, karna kesuksesan itu adalah masalah pribadi. Apa yang dipandang sebagai kesuksesan oleh orang lain tidak selalu berarti kesuksesan bagi kita.

Ada sebuah kisah tentang seorang Mahasiswa yang setelah berjuang sangat keras, akhirnya meraih gelar Sarjana, tak lama setelah itu dia mendapat pekerjaan di sebuah Perusahaan ternama dan menjabat sebagai seorang Manajer, Lalu iapun menikah dengan seorang wanita yang cantik jelita. Orangtuanya sangat senang akan hal itu dan melakukan perayaan besar-besaran, teman-temannyapun berdatangan dan mengucapkan selamat atas “kesuksesan” yang ia raih.

Sedangkan pemuda kaya itu sendiri, meskipun diluar ia selalu tersenyum dan nampak bahagia, namun dirumah ia menampakkan jati dirinya. Ia sering depresi, sering marah-marah tanpa sebab dan ia tampak sangat tidak bahagia. Sebenarnya apa yang kurang? Ia sudah menjadi orang kaya dan memiliki seorang istri yang sangat cantik. Bukankah itu dambaan (hampir) setiap orang?

Manajer muda yang kaya raya itupun mendatangi seorang Psikiater dan mengeluhkan segala permasalahan yang ia hadapi, ia merasa frustasi karna “kegagalannya,” ia marah dan benci kepada orangtuanya yang dia anggap sebagai penghalang cita-citanya, ia muak kepada teman-temannya yang telah mempengaruhinya dan terlebih lagi ia benci kepada dirinya sendiri. Sedari kecil ia terobsesi untuk menjadi seorang Dokter namun cita-citanya harus kandas karna ia membiarkan orang lain menyetir kehidupannya.

Seringkali orang lain mengira, bahwa mereka tahu apa yang terbaik buat diri kita, padahal mereka tidak tahu apa-apa. Mereka hanya bisa menduga dan menebak, dan seringkali tebakan mereka itu salah. Seperti halnya, kita membeli tiket pesawat terbang menuju Makkah, namun sang Pilot malah menerbangkan pesawatnya ke India dan mengajak kita menikmati keindahan arsitektur dari bangunan Taj Mahal yang mempesona. Karna bagi sang Pilot, Taj Mahal adalah bangunan terindah di dunia sehingga dia mengira bahwa kita juga akan senang jika di ajak ke Taj Mahal. Tentu saja kita marah pada Pilot yang sok tahu itu, kita ingin ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji, si Pilot tidak tahu betapa pentingnya bagi kita untuk pergi ke Makkah.

Suatu hari saya membaca sebuah buku yang sangat menarik tentang tekhnik meraih kebahagiaan. Di buku itu dijelaskan bahwa untuk meraih kebahagiaan, kita haruslah memiliki tujuan atau target pencapaian, namun pernyataan itu ditutup dengan sebuah kalimat “…tak ada seorangpun yang ragu bahwa pada akhirnya kita tak dapat mencapai tujuan hidup.” Yup, tentu saja. Karna setiap kita berhasil meraih satu prestasi, maka seketika itu pula kita akan menetapkan tujuan berikutnya.

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah menggambar sebuah kotak di tanah. Lalu beliau menggambar garis horizontal di dalamnya, garis itu dimulai dari satu sisi gambar kotak dan membelah kotak itu menjadi dua bagian, namun garis itu tidak berhenti di sisi kotak yang lainnya, beliau terus menggoreskan garis itu hingga keluar dari kotak. Setelah itu beliau menggoreskan beberapa garis vertikal yang membujur di sepanjang garis horizontal yang membelah kotak tersebut. Sayang sekali saya tak bisa menggambarnya melalui artikel ini, semoga dari deskripsi tersebut, Anda bisa mendapatkan gambarannya.

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menerangkan pada para sahabatnya tentang makna gambar tersebut. Gambar kotak itu melambangkan dunia. Ujung awal garis horizontal itu melambangkan awal kehidupan, garis itu terus berjalan membelah kotak sebagaimana waktu yang terus berjalan tanpa henti. Garis-garis vertikal di sepanjang garis horizontal itu melambangkan rintangan yang dilalui. Bagian ujung dari garis horizontal itu melambangkan angan dan impian yang hendak diraih. Ternyata ujung garis itu berada di luar kotak. Apakah artinya? Itu artinya angan-angan kita tidak akan pernah kita dapatkan meskipun ajal telah menjemput kita.

Dengan mengetahui bahwa kita pada akhirnya tidak akan mencapai tujuan yang telah kita tetapkan, maka kita akan bisa bersikap lebih arif dengan tidak terlalu ngotot untuk harus meraih impian kita. Kita haruslah paham bahwa tujuan kita menetapkan target kehidupan adalah demi kebahagiaan kita, maka kurang bijaksanalah jika dengan meraih cita-cita itu kita malah kehilangan kebahagiaan.

Kita menetapkan tujuan agar kita maju terus dan tidak diam di tempat. Seseorang memiliki impian untuk pergi ke bulan, namun setelah belajar dan melakukan pelatihan selama bertahun-tahun ternyata dia tidak lolos seleksi. Apakah hal itu menandakan bahwa dia gagal dan perjuangannya sia-sia? Tidak ! Mungkin dia memang gagal menjadi Astronot, namun setidaknya dia telah mendapatkan ilmu tentang menerbangkan pesawat. Kehidupan memang tidak selalu sejalan dengan apa yang kita inginkan, namun memiliki impian tetap jauh lebih baik daripada tidak memilikinya.

“Gantungkan cita-citamu setinggi langit !” adalah kata-kata motivasi yang biasa diajarkan seorang Guru pada anak didiknya, ini adalah kata-kata motivasi yang sangat tinggi nilainya. Jika pada akhirnya si Murid tetap tidak dapat menggapainya, setidaknya ia mengalami kemajuan.

Namun tidak jarang kata-kata motivasi ini malah menjadi bumerang yang malah menghancurkan kebahagiaan seseorang, jika tidak disikapi secara bijak. Apa gunanya seseorang meraih prestasi gemilang jika ia tidak bahagia? Sekali lagi, kebahagiaan tetap jauh lebih penting dari pencapaian prestasi itu sendiri, karna tujuan kita mencapai prestasi adalah demi kebahagiaan.

Mengenai hal ini, ada sebuah kisah menarik tentang seorang Office Boy yang karna kedisplinan dan kejujurannya dipindah tugaskan ke bagian keuangan dengan gaji empat kali lipat dari gajinya saat itu. Namun hal itu tidak membuatnya puas karna jabatan yang sebenarnya dia incar adalah sebagai HRD, sebuah tujuan yang hampir mustahil ia raih. Akhirnya iapun bekerja lebih giat lagi dan akhirnya jatuh sakit karna tidak mempedulikan kesehatannya.

Memiliki cita-cita tinggi itu boleh, bahkan di anjurkan. Tapi perlu diingat, cita-cita yang ingin diraih itu hendaklah realistis. Jika tujuan seseorang tersebut semakin realistis dan dapat dicapai, maka kemungkinan besar dia akan semakin merasa baik tentang diri sendiri. Dia akan lebih sering tersenyum dan bersyukur atas anugrah yang dia terima. Bukan malah menjadi orang yang selalu frustasi dan memaki diri sebagai orang yang payah dan selalu gagal.

Dalam menetapkan tujuan, hal lain yang juga perlu kita ingat adalah, jika kita memiliki berbagai macam tujuan yang hendak diraih, maka sebaiknya antara satu tujuan dengan tujuan yang lain itu saling berkaitan. Misalnya jika kita ingin menjadi seorang Psikolog, tak ada salahnya kita mempelajari juga ilmu filsafat dan Sosiologi. Jika antara satu tujuan dengan tujuan lain tidak saling berkaitan, maka kita malah akan kehilangan fokus dan mengalami banyak benturan. Seorang Pemburu yang hendak memburu dua ekor kelinci yang berlari berlawanan arah, malah tidak akan mendapat seekor kelincipun.

Menetapkan tujuan bisa dibilang sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri, sehingga orang yang hidup tanpa tujuan adalah orang yang kehilangan arti diri mereka. Dan perlu dipahami bahwa tujuan hidup itu tidak akan berhenti meskipun kita telah berhasil menggapainya, karna itulah sifat dunia. Dunia akan memaksa kita untuk terus berjalan.

Tapi santai saja, kita tak perlu beranggapan bahwa kehidupan adalah serentetan tugas-tugas yang harus diselesaikan. Karna kebahagiaan sebenarnya tidak berada jauh disana, setelah kita berhasil mencapai apa yang kita impikan. Namun kebahagiaan ada di tempat ini dan saat ini. Maka jangan lewatkan momen-momen berharga dalam hidup kita. Saat kita berada bersama keluarga, saat kita menikmati secangkir teh atau saat bertemu kawan lama. Kebahagiaan bisa datang kapan saja jika kita mau mengubah persepsi kita, bahwa kebahagiaan itu sudah ada didalam genggaman kita.

Orang yang bahagia adalah orang yang menerima kehidupan dan hidup selaras dengannya. Ia tidak menghitung kesusahan dan kegagalan yang ia jalani, ia juga tidak merasa iri dengan anugrah yang diberikan kepada orang lain. Ia akan membuka kedua genggaman tangannya, tersenyum melihat banyak hal yang sudah ia dapatkan, dan melupakan apa yang telah hilang darinya. Siapakah mereka orang yang disebut bahagia? Mereka adalah orang yang senantiasa bersyukur dan selalu menghitung nikmat yang ada pada dirinya.

Tak perlu bersedih jika apa yang kita impikan tidak dapat kita capai. Toh, tujuan hidup yang kita canangkan itu pada hakikatnya “tidak penting-penting amat,” tak peduli betapa besarnya prestasi dan kekayaan yang telah kita dapatkan, pada akhirnya Allah akan mengambil semuanya kembali, dan hanya menyisakan amal perbuatan kita. Sesungguhnya segala sesuatu datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah.

Allah memberikan kita kehendak, agar kita bisa melangkah kemanapun kita mau. Kita menetapkan tujuan hidup untuk membuat diri kita hidup, meskipun kita juga tidak ragu bahwa tujuan hidup yang kita canangkan itu pada akhirnya tidak akan kita raih juga. Karna itu kita tidak perlu mati-matian mengejarnya. Sisihkan sedikit energi untuk kasih sayang, untuk keluarga, untuk kebahagiaan dan untuk diri kita sendiri.

Penutup

Jika saja kita mau menengadahkan pandangan ke atas sana, mungkin kita bisa melihat sesuatu yang membuat jantung berdesir, lalu pikiran kita akan melesat terbang menembus cakrawala menuju alam jiwa yang tiada batas. Dan kitapun merenung sejenak, “Kita mencanangkan beragam tujuan untuk membuat diri kita hidup, namun untuk apakah hidup ini?”

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka”. {QS Ali ‘Imran : 190 – 191}

Kita diciptakan karna suatu tujuan. Sebagaimana bumi yang berputar pada porosnya, sebagaimana mentari yang terus berpijar, sebagaimana bintang yang berjajar teratur membentuk galaksi, maka kitapun memiliki tugas agar alam semesta ini tetap berada dalam keseimbangannya. Dan apakah tugas besar yang kita emban itu? Sebuah tugas yang bahkan langit, bumi dan gunung-gunung tidak mau memikulnya? Allah berfirman,

“Tidaklah Aku menciptakan Jin dan manusia, melainkan agar mereka menyembah-Ku.”


Para alim ulama yang dirohmati Allah paham betul akan hal ini. Tak peduli sedang apakah mereka, apakah sedang bermusyawarah dengan para pembesar, sedang dalam transaksi jual beli, sedang bermanja dengan sang istri atau sedang dalam urusan keduniaan lainnya, maka segala urusan itu menjadi tampak kecil seketika mereka mendengar kalimat “Allaahu akbar” (pen : Allah Mahabesar).

Kalimat “Allaahu akbar” menggema di relung hati mereka dan menggetarkan jiwa mereka. Dan seketika itu mereka akan menghampiri tempat dimana panggilan Adzan itu dikumandangkan selagi mereka sanggup untuk mendatanginya. Karna mereka paham betul, bahwa hanya Allah sajalah yang Mahabesar. Sedangkan segala urusan selain itu adalah hal sepele dan kecil. Mereka sadar bahwa Allah tidak menciptakan mereka melainkan agar mereka menyembah-Nya.

Karna itu marilah kita bersama berdo’a, agar Allah menyertakan kita untuk hadir dalam panggilan-Nya, agar saat seruan “hayya ‘alal falah” (pen : mari kita menuju kemenangan) dikumandangkan, kita serta merta menyambutnya, sehingga kitapun termasuk orang-orang yang beruntung dan termasuk kedalam jama’ah orang-orang yang mendapatkan kemenangan, kemenangan dari melawan ambisi keduniawian.

Apakah kita sanggup memenuhi panggilan agung itu? Atau mungkin, kita malah mengabaikan panggilan mulia itu dan memilih untuk menjalankan sholat di akhir waktu saja karna kesibukan kita dalam meraih ambisi keduniaan dan membiarkan diri kita menjadi orang-orang yang kalah?

Ya, ini memang sulit, amat sangat sulit. Apalagi dunia begitu mempesona, apalagi dunia begitu menggoda. Seolah memindahkan gunung Everest ke Negri Cina jauh lebih mudah dari hal itu. Bagaimana mungkin kita sanggup beranjak dari tempat duduk untuk mendatangi panggilan Adzan saat acara Sinetron sedang bagus-bagusnya? Itu mustahil.

Tapi Allah Mahaadil. Semakin berat suatu amalan dikerjakan, maka makin besar pula pahalanya. Sampai-sampai Rosulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menyebutkan bahwa sholat tepat waktu adalah amalan yang paling utama, setelah itu barulah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menyebutkan berbakti pada orangtua di urutan kedua, dan Jihad fii sabilillah menduduki urutan ketiga.

Namun iming-iming besar itupun masih belum sanggup untuk menggoyahkan hati kita, tentu saja karna kita sedang sibuk untuk urusan dunia yang menumpuk. Dunia akan terus menuntut diri kita untuk bekerja, bekerja, dan bekerja untuk meraih impian yang tak mungkin dapat kita raih.


“Kita datang dan pergi untuk keperluan kita, dan keperluan orang hidup itu tiada habisnya, akan berhentilah keperluan seseorang dengan kematiannya dan keperluan masih tetap berlangsung selama seseorang masih hidup.” < Yahya bin Mu’adz>
Jumat, 15 Oktober 2010 0 komentar

Biarkan Saja

Suatu hari Bu Harni bertamu ke rumah Bu Echa. Ketika Bu Harni masuk ke ruang tamu, ia mengamati tatanan ruang dengan cermat, ia merasa bahwa kursi-kursi berjajar terlalu rapat, jendela terbuka terlalu lebar, meja terlalu mepet ke tembok dan hal-hal lain yang menurutnya kurang rapi.

Bu Harnipun berniat menolong Bu Echa dengan memberitahukan bagaimana seharusnya tatanan ruang tamu yang benar, Bu Harni memulai ceramahnya didepan Bu Echa lalu bangkit berdiri, ia menggeser meja kursi dan merapikan ruang tamu Bu Echa agar lebih sedap dipandang mata, tentu saja Bu Echa cukup tahu diri dan membantunya.

Akhirnya, ruang tamu yang tadinya sumpek dan pengap menjadi lebih nyaman. Bu Harnipun merasa puas dengan kerja kerasnya, dan setelah berbasa-basi sejenak maka diapun pulang dengan perasaan bangga.

Bu Harni merasa bahwa ia telah berjasa dan karna hal itu maka ia yakin bahwa hubungannya dengan Bu Echa akan semakin erat. Namun setelah satu minggu berlalu ternyata Bu Echa tidak lagi pernah menghubunginya, jika mereka kebetulan bertemu di jalan maka Bu Echa hanya bicara seperlunya saja, hal itu membuat Bu Harni heran, apa yang salah dengan dirinya?

Mungkin diantara teman-teman ada yang pernah mengalami kejadian semacam itu, kita telah berusaha membantu teman kita agar menjadi lebih baik namun ternyata bukan kata terima kasih yang kita dapatkan tapi malah hubungan kita menjadi semakin renggang.

Ya, begitulah manusia, jika kita tidak benar-benar menguasai seni menjalin hubungan kemanusiaan maka kita hanya akan membuat teman-teman kita menjauh tanpa kita sadari.
Kita memang seringkali merasa gatal saat melihat teman kita melakukan suatu kesalahan sementara kita tahu bagaimana cara memperbaikinya.

Mungkin waktu itu kita tidak menyadari bahwa satu hal yang paling diinginkan teman kita saat dia melakukan suatu tindakan ceroboh adalah agar kita tidak mengetahui kecerobohannya, itulah sebabnya biasanya seorang teman berusaha menyembunyikan kecerobohannya dihadapan kita, lalu apa gunanya kita mencoba mengoreknya?

Dengan menunjukkan letak kecerobohan yang dilakukan teman kita, kita telah membuatnya kehilangan muka, dan jika kita berusaha memperbaiki kecerobohannya itu maka itu bisa jadi kesalahan yang fatal. Tentunya perbuatan tersebut tidak selalu membuat teman langsung menjauhi kita, namun setidaknya hal tersebut telah membuat hubungan persahabatan kita menjadi lebih renggang dibanding sebelum kita mencoba memperbaikinya.

Kita seringkali lupa bahwa betapapun akrabnya hubungan kita dengan sahabat kita, dia tetap orang lain. Setiap manusia memiliki batasan yang sudah semestinya tidak kita lampaui. Dengan mencoba memperbaikinya tanpa diminta berarti kita telah menghancurkan harga dirinya dan membuatnya tampak bodoh di hadapan kita.

Setiap manusia tentulah ingin dianggap berharga oleh temannya, jika temannya mengetahui kebodohan dan kecerobohannya dia biasanya lebih memilih mempertahankan egonya dan meninggalkan temannya tersebut. Ya, apa gunanya berteman dengan orang telah membuat kita tampak bodoh dan ceroboh? Lebih baik berteman dengan orang yang masih menganggap kita berharga, itu naluriah, karna memang manusia itu adalah makhluk yang lebih dikendalikan oleh emosi daripada logika.

Kita cenderung suka bergaul dengan orang yang menghargai kita dan cenderung menjauhi orang yang menganggap kita tidak begitu istimewa, kita tidak begitu peduli masalah benar atau salah lagi karna yang terpenting bagi kita adalah rasa diri berharga. Seorang anak yang oleh orangtuanya selalu dianggap anak yang bodoh dan tidak berguna biasanya akan mulai menjauhi orangtuanya dan bergaul dengan berandalan yang lebih menghargainya.

Kesalahan dari tindakan Bu Harni diatas adalah karna dia telah menghancurkan nilai diri Bu Echa sehingga Bu Echa kehilangan percaya diri untuk tetap bersahabat dengan Bu Harni, akhirnya Bu Echa menjalin persahabatan dengan orang lain yang belum mengenal kecerobohannya sehingga teman barunya akan lebih menghargainya.

Lalu bagaimana caranya jika kita berusaha menolong sahabat kita? Seringkali cara terbaik yang bisa kita lakukan adalah… biarkan saja. Jika suatu ketika tetangga kita menyuguhi kita segelas kopi dirumahnya dan kebetulan dia lupa memberi gula di kopi kita, maka hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah pura-pura tidak tahu.

Kita bisa saja meminum kopi tersebut dan menahan rasa pahitnya sambil berlagak seolah semuanya baik-baik saja, dan begitu tetangga kita lengah, kita masukkan kopi pahit itu kedalam plastik dan membawanya keluar lalu kita buang kopi itu tanpa sepengetahuannya.

Tidak ada gunanya kita menceramahinya dan mencoba memperbaikinya karna itu bukanlah urusan kita, setiap manusia pasti pernah melakukan keceroboban, hendaklah kita memakluminya karna itu adalah suatu kewajaran. Kita sama sekali tidak ada tanggung jawab untuk memperbaikinya karna dia itu adalah orang lain.

Hendaklah kita menahan diri untuk tidak mencampuri urusan orang lain karna Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, “Termasuk sempurnanya islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.”

Di era yang semakin modern ini banyak kita jumpai orang-orang yang mengalami stress dalam kehidupannya dan seringkali stress itu bermula bukan dari masalah pribadinya namun karna dia membebani pikirannya dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu.

Sering kita melihat seorang buruh bangunan misalnya, terlihat begitu memikul beban pikiran yang begitu berat karna memikirkan hal-hal yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Andai saja dia fokus untuk memikirkan masalah pribadinya tentunya dia tidak akan begitu stress, cukuplah dia memikirkan keluarganya, proyek bangunannya atau hal-hal yang memang berhubungan dengan dirinya.

Namun kenyataannya dia malah membebani pikirannya dengan masalah yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya, seperti artis idola yang bercerai, pak Lurah yang membeli mobil baru, atau hal-hal lain yang meskipun dia memikirkan atau tidak memikirkan tetap sama saja dan tidak sedikitpun merubah keadaan.

Beberapa orang juga seringkali senewen ketika melihat seseorang melakukan kesalahan sehingga dia langsung tergerak untuk mengoreksinya dan memberikan bantuan tanpa diminta, padahal dirinya sendiri belum tentu terbebas dari kesalahan. Pepatah mengatakan, semut diujung lautan terlihat namun gajah di pelupuk mata tak nampak.

Jika kita melihat teman kita bersikap ceroboh, cara paling aman untuk mempertahankan persahabatan adalah pura-pura tidak tahu. Jika teman kita menumpahkan makanan atau kecerobohan lain, hendaknya kita menahan diri dari berkata, “ups,” atau “aduh,” atau kata-kata lain yang semisal, bersikaplah tenang tanpa ekspresi, karna sedikit saja komentar terucap dari mulut kita itu sudah cukup membuat teman kita tampak bodoh di hadapan kita.

Namun, jika suatu ketika kecerobohan yang dilakukan oleh teman kita tersebut membuat kita atau orang lain merasa terganggu atau jika kita merasa memiliki kewajiban untuk mengingatkannya, maka sudah semestinya kita memberikannya sedikit nasehat atau bantuan.

Tapi dalam memberikan nasehat hendaknya kita menghindari sikap sok dan terkesan unjuk kebolehan, KH Abdullah Gymnastiar pernah berpesan, “ciri kematangan seseorang adalah mengajar tanpa menggurui, memberi nasehat tanpa merasa lebih mulia dan menang tanpa ada yang merasa dikalahkan.”

Suatu hari Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Tholib yang masih anak-anak melihat seorang kakek berwudlu tidak dengan benar. Hasan dan Husain pun tidak langsung menunjukkan kesalahan kakek tersebut secara langsung demi menjaga perasaannya, Hasan dan Husain berkata pada kakek tersebut, “maaf kek, bisakah kakek membantu kami? Kami berdua ingin kakek menjadi juri untuk menilai siapakah diantara kami berdua yang paling benar wudlunya.”

Si kakek menyetujuinya, lalu Hasan dan Husain berwudlu dengan benar sesuai yang diajarkan Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wassalam. Begitu melihat dua bocah kecil itu berwudlu si kakekpun mengatakan bahwa cara wudlu keduanya sudah benar. Dengan melihat cara Hasan dan Husain berwudlu, si kakek mendapatkan pencerahan bahwa ternyata selama ini cara berwudlunyalah yang salah.

Dalam hal ini Hasan dan Husain merasa memiliki kewajiban untuk mengingatkan si orang tua karna yang dilakukan orang tua tersebut menyangkut masalah agama dan masih berada dalam konteks dakwah. Hal ini sudah merupakan tanggung jawab yang dibebankan Allah kepada setiap orang yang berilmu untuk mengajarkannya kepada yang tidak tahu, jadi perbuatan Hasan dan Husain tersebut adalah suatu hal yang sudah semestinya dilakukan dan tidak termasuk kategori ikut campur urusan orang lain.

Itu adalah satu contoh jika kita ingin membantu orang lain untuk memperbaiki kesalahannya tanpa membuatnya rendah diri, namun untuk melakukan hal itu kita tentunya membutuhkan ketulusan, karna bantuan kita tersebut biasanya tidak mendapatkan ucapan terima kasih maupun pujian karna orang yang coba kita perbaiki tidak menyadari bahwa kita memang berniat membantunya, dia mengira bahwa hal itu hanya kebetulan semata.

Marilah sejenak kita bersama merenungkan tentang makna hidup ini, sesungguhnya Allah menciptakan setiap manusia bersamaan dengan dituliskan masalah-masalah hidupnya, dan Allah tidak akan membebani seorang manusia melainkan Allah mengetahui bahwa manusia itu sanggup untuk memikulnya, sesungguhnya tiap manusia telah diberi jatah oleh Allah masalah dan kewajibannya.

Namun tidak jarang kita melihat bahwa manusia itu bukan menyibukkan diri dengan menyelesaikan masalahnya sendiri tapi malah memberikan tambahan beban yang sebenarnya tidak perlu dengan memikirkan hal-hal yang sama sekali bukan urusannya dan hal itu menyebabkan penumpukan masalah yang menjadikannya stress.

Jika manusia itu paham bahwa setiap masalah itu sudah ada orang yang memikirkannya maka ia tidak akan mengalami banyak tekanan hidup, bukankah Allah telah memberikan bagian bagi setiap orang masalahnya sendiri yang harus dia pikirkan? Biarlah seorang penjual bakso sibuk memikirkan baksonya sendiri, seorang petani sibuk memikirkan panennya sendiri, seorang direktur sibuk memikirkan perusahaannya sediri, dan kita sibuk urusan kita sendiri.

Coba bayangkan, seandainya saja kita adalah seorang Nakhoda kapal, dan kapal yang kita kemudikan memiliki kapasitas maksimal 70 penumpang yang jika kita mencoba nekad menambahkan penumpang lagi maka kapal itu terancam tenggelam.

Kapal itu sudah penuh berisi 70 penumpang dan kita mendapatkan amanah untuk mengantarkan penumpang itu ke pelabuhan, namun dalam perjalanannya kita melewati sebuah pulau, dan di pulau tersebut terdapat 20 orang yang juga hendak menuju pelabuhan, lalu apakah kita akan menolong mereka padahal mereka bukan tanggung jawab kita?

Jika kita menolong 20 orang penghuni pulau itu maka itu artinya kita mengambil resiko tenggelam dan pada akhirnya, baik penumpang yang berjumlah 70 orang maupun penghuni pulau yang berjumlah 20 orang itu tidak sampai ke pelabuhan, selain itu kita gagal dalam mengemban amanah kita sendiri, yaitu mengantarkan 70 penumpang ke pelabuhan dengan selamat.

Masalah kehidupan itu sangat sangat banyak dan memori di otak kita tidak akan sanggup menampung semuanya, jika kita terlalu sibuk memikirkannya maka bisa jadi malah masalah kita sendiri tidak teratasi. Selain itu, bukannya masalah-masalah itu akan terbantu dengan pikiran kita, tapi justru pikiran kitalah yang akan hank.

Pada akhirnya saya akan menutup artikel ini dengan sebuah pesan pendek yang mungkin bisa dijadikan pedoman yang bermanfaat. Saya mendapatkan pesan pendek dan sederhana ini dari sebuah buku yang berjudul “La Tahzan” karya Aidh bin Abdullah al-Qarni, namun meski sederhana kalimat itu memiliki manfaat yang luar biasa. Jika kita benar-benar merealisasikannya, maka kita akan terhindar dari berbagai macam masalah.
Jika engkau menginginkan kehidupanmu bahagia, tentram dan terhindar dari berbagai macam masalah kehidupan maka :

“Jangan engkau letakkan bola dunia di atas kepalamu.”
Sabtu, 28 Agustus 2010 0 komentar

Refresh

Saat semua keluarga telah terlelap, tiba-tiba Tono yang masih duduk di bangku kelas 4 SD terbangun dari tidurnya, ia merasakan dahaga yang teramat sangat di kerongkongannya, ia sangat kehausan namun dia juga masih merasa sangat ngantuk dan malas untuk beranjak dari tempat tidurnya untuk mengambil minum.

Dengan mata yang masih setengah terpejam ia berteriak kepada ibunya yang tidur di kamar yang berlainan, “Ibuuuu… hauuuuss… ibuuuu… haaauuuuss..” Si Tono terus berteriak hingga ibunya pun terbangun.

“Berisikk!! Sudah malam ni, ayo cepat tidur !” Teriak ibunya dari dalam kamarnya dengan jengkel karna tidurnya terganggu.

“Ibuuuuu… hauuuuuuuss..” Tono malah berteriak semakin keras.
“Diam !! Ini sudah malam, ayo cepat tidur!” Teriak ibunya semakin jengkel.
“Ibuuuuu…. Haaauuuuuuuuuss.. “ Tono berteriak lebih nyaring lagi.
“Diiiaaaaaaaaammm!!” Sang ibu sudah semakin jengkel.

“Ibuuuuuuuu… haaauuuuuuuuuuuuuusss…” Tono tak patah semangat dan berteriak jauh lebih keras lagi.
Akhirnya sang ibu kehilangan kesabarannya dan beranjak dari tempat tidurnya, dengan amarah yang menggebu, sang ibu mulai berteriak mengancam, “Kalau kamu tak mau diam, ibu akan masuk ke kamarmu dan memukul pantatmu!!”

Mendengar ancaman itu, Tono pun menjawab, “Nanti kalau ibu masuk kamarku untuk memukul pantatku, jangan lupa sekalian ibu bawakan air putih dari dapur ya?”

>>><<<

Mungkin saja teman-teman akan sedikit tersenyum mendengar cerita ini, tersenyumlah, karna senyum itu menyehatkan, tersenyumlah agar jiwa menjadi bebas. Kehidupan itu sudah cukup sulit, maka jangan ditambah sulit dengan wajah cemberut.

Jika teman-teman senantiasa menjalani kehidupan dengan ekspresi wajah yang murung maka dunia ini akan tampak hitam dan kelam, tapi jika teman-teman senantiasa tersenyum maka duniapun akan tampak bersinar terang.

Tersenyumlah karna senyum itu menyehatkan, tersenyumlah karna dengan tersenyum rona wajah akan tampak lebih muda. Senyum itu menyehatkan, senyum itu mencerahkan, dan senyum itu adalah warna kehidupan.

Dengan tersenyum, maka segala kesulitan dan hambatan akan semakin mudah untuk diatasi. Dengan tersenyum, segala kesedihan akan melebur. Tapi jika teman-teman selalu mengukir raut muka yang muram di wajah maka persoalan sepele pun akan tampak besar.

Tersenyumlah jika ingin kawan-kawan datang menghampiri. Apa gunanya berkawan dengan orang yang memiliki berbagai perhiasan dan mobil mewah jika dia selalu menghadapi setiap orang dengan wajah cemberut? Lebih baik berkawan dengan orang yang hidup sederhana tapi selalu bisa mempersembahkan senyuman manisnya kepada setiap orang yang menghampirinya.

Jangan bebani hidup dengan menjalaninya terlalu serius, karna hal itu hanya membuat tubuh menjadi sarang penyakit. Orang-orang gagal dan putus asa jarang tersenyum dan selalu bersikap pesimis, sedangkan orang-orang sukses selalu menyempatkan waktunya untuk sedikit bercanda dan mengukir senyum di wajah mereka.

Nabi Muhammad saw pun terkadang menyempatkan dirinya untuk bercanda, pernah suatu ketika seorang wanita tua mendatangi beliau dan bertanya, “Ya Rosulullah, apakah aku bisa masuk sorga?” Maka Nabi saw pun menjawab, “orang-orang tua tidak masuk sorga.”

Mendengar hal itu si wanita tua menangis, ketika wanita tua itu hendak pergi maka beliau memanggilnya kembali dan membacakan Surat al-Waqiah yang menerangkan bahwa wanita-wanita sorga adalah gadis-gadis yang muda belia, Nabi saw menjelaskan bahwa di sorga kelak si wanita tua akan diciptakan kembali sebagai gadis cantik yang masih belia, mendengar penjelasan beliau maka si wanita tua itu pun merasa senang.

Ya, Nabi Muhammad saw mengajarkan umatnya agar tidak terlalu serius menjalani kehidupan. Kita bisa membaca dari perjalanan hidup beliau bahwa meskipun beliau menjalani kehidupan yang begitu berat, beliaupun terkadang menyelinginya dengan sedikit bercanda, beliau pernah bermain lempar-lemparan semangka dengan para sahabat, saat dalam perjalanan menuju perangpun beliau menyempatkan diri untuk berlomba lari dengan istrinya, Aisyah ra.

Senyum dan canda akan membuat beban-beban hidup yang kita pikul dipundak kita menjadi lebih ringan. Dengan senyuman, kita akan mendapatkan energi baru dan kita akan siap menghadapi tantangan hidup yang baru.

Mengenai hal ini Nabi saw pernah bersabda, “Obatilah dirimu yang lelah karna kesusahan dengan kesenangan hingga ia kuat kembali dan hiburlah ia dengan sedikit lelucon, tapi jika engkau berikan kepadanya hal itu, pakailah takaran sebagaimana garam yang dibubuhkan pada makanan.”

Nah, dari sini kita tahu bahwa memberikan sedikit lelucon dan humor untuk kehidupan kita adalah hal yang baik, namun demikian, kita tetap harus memperhatikan takarannya agar tidak berlebihan sebagaimana garam yang ditaburkan pada makanan, jika makanan itu tidak diberi garam maka rasanya akan hambar, tapi jika kita memberikan garam itu melebihi takaran yang semestinya maka makanan itu akan keasinan sehingga kitapun akan enggan untuk menyantapnya.

Salah satu adab dalam Islam adalah tersenyum, namun tertawa terbahak-bahak sama sekali bukan akhlak yang islami. Orang yang selalu tertawa terbahak-bahak bukan berarti dia bahagia, karna bahagia adalah soal hati.

Mencari hiburan dan humor sesekali bukan hal tercela tapi jika terlalu sering maka hal itu tidak akan baik untuk jiwa kita, sebagaimana Nabi saw pernah bersabda, “Janganlah kamu terlalu banyak tertawa, karena banyak tertawa itu bisa mematikan hati.”

Jika hati telah mati maka hati kita akan sulit tersentuh oleh lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an, selain itu berbagai ilmu yang kita pelajari tidak dapat meresap kedalam hati, juga hati yang mati dapat membuat jarak kita kepada Allah semakin jauh karna hal itu membuat semakin sukarnya diri kita untuk khusyu’ saat beribadah dan menangis saat berdo’a.

Itulah sebabnya Rosulullah saw menganjurkan kita untuk menjenguk orang sakit, turut mengurus jenazah dan memperhatikan orang-orang miskin dan kelaparan agar hati kita bisa hidup kembali, dan agar timbul rasa belas kasih dan simpati di dalam sanubari.

Bercanda dan mendengar gurauan sesekali adalah hal yang kita perlukan agar kita tidak menjalani hidup ini terlalu kaku, namun jangan terlalu sering, sebagaimana Sa’ad bin Abi Waqash pernah berpesan, “Iritlah dalam bercanda, karna terlalu banyak bercanda bisa menjatuhkan wibawa, orang-orang bodohpun akan melecehkanmu.”
Sabtu, 27 Maret 2010 0 komentar

Fenomena Hidup


Seiring waktu berjalan,zaman pun terus bergulir,tahun demi tahun terlampaui,abad demi abad terlewati,dan milenium demi milenium terlangkahi.Kini kita telah memasuki sebuah era baru yang kita kenal dengan era globalisasi.sebuah era dimana kecepatan,kegigihan dan kecerdikan mendominasi.Kita bisa merasakan betapa pesatnya teknologi berkembang dan semakin memanjakan untuk mendukung kebutuhan manusia yang seolah berlari dikejar waktu.

Banyak orang terjebak dalam permainan kehidupan yang sangat melelahkan namun tak juga berhasil menuju pencapaian,sebuah fenomena yang oleh Robert T. Kiyosaki diberi nama “Jebakan Tikus.”

Kita dipaksa untuk berlari kencang mengejar tuntutan hidup yang semakin tidak realistis,acara televisi yang selalu menampilkan gaya hidup orang atas semakin membuat kita kehausan.Berkembangnya teknologi yang seharusnya membantu kehidupan kita justru malah menjadi semacam beban buat kita,kita tertawan oleh rasa gengsi berlebih dan merasa tersaingi tatkala seorang tetangga memiliki HP keluaran terbaru.

Manusia pun mondar-mandir ke segala penjuru bumi tanpa mengenal waktu siang maupun malam,mereka menguras keringat dan membanting tulang demi kebutuhan yang tak pernah dapat tercukupi,mereka bekerja bukan lagi sekedar mencari nafkah dan penghidupan,tapi lebih dari semua itu,mereka berusaha membeli “image.”

Mungkin ungkapan bijak ini cukup untuk bisa memberikan gambaran,”Dunia ini bisa mencukupi kebutuhan seluruh makhluk hidup,namun tidak akan pernah bisa mencukupi seorang manusia yang tamak.”

Ada kisah nyata tentang sebuah keluarga yang mengalami nasib yang tragis hanya demi membayar sebuah gengsi.Ada seorang anak kecil berusia 4 tahun yang tinggal bersama pengasuhnya karna kedua orangtuanya sibuk bekerja.

Suatu ketika saat pengasuh tersebut sedang lengah,putri dari keluarga tersebut membawa krayon di garasi mobil ayahnya,ia berusaha meluapkan kerinduannya pada orangtuanya yang selama ini tidak pernah sempat menemaninya,dengan sebatang krayon ia menggambar sebuah keluarga dimana seorang anak bergandengan tangan dengan ayah ibunya di sebuah taman.Sebuah kesalahan yang sangat fatal bagi sang anak karna ia menjadikan mobil kebanggaan sang ayah sebagai media menggambarnya.

Begitu ayahnya pulang,si kecil pun langsung berlari kepadanya,dengan senyum kebanggaan dia menggandeng tangan ayahnya untuk memperlihatkan hasil karyanya.Betapa kaget sang ayah melihat mobil kesayangannya yang dibeli dengan tetesan keringat kotor oleh coretan krayon anaknya sendiri.Raut mukanya merah padam penuh amarah dan dengan tanpa menaruh belas kasihan sang ayah mengambil sebuah tongkat untuk memukuli kedua tangan putri kecilnya tersebut.

Hari demi hari berlalu,ternyata luka di kedua tangan si kecil menyebabkan infeksi,ketika ia dibawa ke Rumah Sakit,keluarga tersebut harus menerima kenyataan yang sangat mengejutkan…kedua tangan putrinya harus diamputasi.

Ayah dan ibu anak tersebut hanya bisa menangis terisak menyesali nasib tatkala buah hatinya bangun dari tidurnya dan mendapati kedua tangannya telah tiada,gadis kecil itu menangis dan memohon pada ayahnya yang hanya bisa diam membisu,”Ayah…ayah..aku menyesal…aku janji takkan mencorat-coret mobil ayah lagi…tapi ayah…tolong kembalikan tanganku…kalau tanganku ayah sembunyikan,bagaimana aku bisa makan?bagaimana aku bisa bermain?ayah…tolong kembalikan tanganku ayah…aku janji takkan mencorat-coret mobil ayah lagi…”

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu Sampai kamu masuk kedalam kubur Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui Kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti Niscaya kamu benar-benar akan melihat Neraka Jahim Kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (dari bermegah-megahan itu)

{QS at-takatsur}

Di era yang berjalan serba cepat ini,dunia menjadi semacam ajang kompetisi dimana hanya yang terkuat saja yang menang,setiap orang_kecuali segelintir orang yang cukup bijak dalam menyikapi hidup_saling berlomba untuk meraih tangga teratas.

Setiap orang menjadi waspada dan saling curiga terhadap rekan sendiri,tiada lagi rasa saling percaya,semua tergantikan oleh topeng kepalsuan,mereka saling berebut,memukul dan mendorong.Sahabat karib dijadikan batu pijakan,senyum manis hanya menjadi sebuah kemasan,dunia ini menjadi tak lebih dari sebuah kontes.

Dunia ini panggung sandiwara Ceritanya mudah berubah Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani Setiap kita dapat satu peranan Yang harus kita mainkan Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura Mengapa kita bersandiwara? Mengapa kita bersandiwara? Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak Peran bercinta bikin kita mabuk kepayang Dunia ini penuh peranan Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan

[Nike Ardila]

Manusia semakin diliputi oleh kecemasan dan kegelisahan yang seolah tiada ujung pangkalnya,duniapun seolah semakin diliputi oleh awan hitam kegelapan.Dengki,dendam,keserakahan,benci,iri hati,kesombongan dan kesia-siaan semakin menggerogoti hati nurani.

Manusia diliputi rasa khawatir dan ketakutan,bahkan mereka menjadi takut oleh bayangan hitam mereka sendiri.Manusia berpikir bahwa tiada jalan lain untuk mendapatkan rasa aman kecuali setelah mendapatkan 3 hal:harta,jabatan dan popularitas.

Tergiur oleh angan-angan kosong,manusiapun menjual dirinya demi beberapa lembar uang.Berkurangnya waktu hidup mereka dinilai dengan berapa jumlah harta benda yang mereka miliki,hal ini sesuai dengan slogan yang senantiasa mereka teriakkan,”waktu adalah uang.”Padahal Nabi Muhammad saw pernah bersabda,”andai diberikan satu gunung emas kepada manusia,niscaya dia masih tetap menginginkan gunung emas kedua.”

Manusia mengira bahwa dengan uang kita bisa membeli segalanya, apakah benar begitu? Mari kita teliti, apa saja yang dapat dibeli dengan uang :

1. Ranjang, bukan tidur
2. Buku, bukan pengetahuan
3. Makanan, bukan selera
4. Dandanan bukan kecantikan
5. Bangunan, bukan rumah
6. Obat, bukan kesehatan
7. Kemewahan, bukan kenyamanan
8. Kesenangan, bukan kebahagiaan
9. Agama, bukan keselamatan

Lalu,dengan pola kehidupan yang selalu dilalui dengan pengejaran seperti ini,bagaimanakah mungkin mereka bisa mendapatkan ketentraman?Mungkin benar,dengan harta yang mereka miliki mereka dapat membeli banyak hal termasuk kesenangan,tapi sungguh,mereka tidak akan sanggup untuk membeli kebahagiaan meski hanya sebutir,karna kebahagiaan itu lahir dari dalam hati yang bersih,kita tidak perlu mencarinya diluar sana.

Maka marilah kita mencoba bersikap bijak dan menggunakan akal sehat yang telah dikaruniakan Allah kepada kita.Memang,kita tidak akan sanggup untuk merubah dunia yang penuh dengan muslihat seperti ini,tapi setidaknya kita bisa mengendalikan dan merubah cara pandang kita terhadap dunia.

Beragam kisah telah menjadi bukti bahwa telah banyak manusia yang hidup dalam limpahan kebahagiaan dan ketentraman batin meskipun perbendaharaan dunia tidak berada dalam genggamannya.

Mari kita renungkan perkataan Sufyan Ats-Tsaury yang telah merasakan pahit manisnya kehidupan dan tetap dapat menikmati kehidupannya meskipun ia terbiasa tidur beralaskan tanah :

“Garam dan kuah akan mencukupimu dari sesuatu yang karnanya pintu ditutup dan karnanya juga orang-orang menjadi kikir,dan kamu minum dari air sungai Furat,hanya dengan makan seperti ini kamu telah bisa menandingi orang-orang yang makan Tsarid yang dilunakkan,kamu sudah bisa bersendawa seperti halnya mereka juga bersendawa,seolah-olah kamu habis makan berbagai macam makanan Khabish.”

Lalu,sebenarnya apa yang membedakan?Seorang raja makan 3x sehari maka kita pun makan 3x sehari,seorang milyuner tidur 8 jam sehari maka kitapun tidur 8 jam sehari.Kebahagiaan tidak tergantung dengan apa yang sudah kita miliki tapi dari cara kita menyikapinya.

Meskipun kita berada dibalik penjara dibalik terali besi,kita masih bisa melayangkan penglihatan kita kearah cakrawala atau mengeluarkan bunga Melati dari saku kita,lalu kita cium baunya yang harum dan tersenyum.Meskipun kita berada dalam Istana dengan pakaian yang mahal dari kain sutra yang tebal dan tipis,bisa saja kita berbelasungkawa atau marah dan mengamuk karna emosi terhadap urusan rumah tangga,keluarga dan harta benda kita.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dunia yang kita kejar itu begitu hijau nan menarik hati,warnanya yang gemerlap membuat pandangan mata kita tersilaukan.Tapi bagi Allah dunia ini begitu remeh dan hina sehingga ia tidak rela jika dunia menjadi tempat menetap kekasih-kekasih-Nya,karna Allah telah menyediakan sebuah tempat yang jauh lebih pantas bagi makhluk yang dicintai-Nya,yaitu syurga yang kekal abadi.


"...dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka,(sebagai) bunga kehidupan dunia,agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu.Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal."
{QS.Thooha:131}
0 komentar

Menghadapi Sang Pengkritik

Jika saya ditanya,”metode apa yang paling efektif untuk merenggangkan hubungan yang tadinya baik-baik saja?”Maka akan saya jawab,”kritik saja kesalahannya.”
Kritik adalah sebuah kata yang paling dibenci untuk didengarkan namun sangat menyenangkan untuk diucapkan,kita dapat mendengarkan berbagai macam kritik disekitar kita dimana saja dan disetiap waktu.

Kritik terutama sering dilontarkan kepada orang-orang yang memiliki nilai dimata masyarakat,seperti seorang anak muda yang dihormati banyak orang karna kelebihan yang dimilikinya,orang miskin yang berhasil meraih kesuksesan karna kegigihannya,dan bahkan Nabi Muhammad yang telah kita kenal keagungan dan keluhuran prilakunya tak bisa lepas dari kritikan.

Mungkin kita telah berhasil menanam kebun bunga yang indah di pekarangan rumah,namun seorang pengkritik ulung akan dengan cepat melihat rumput alang-alang yang lupa kita pangkas.

Kritikan adalah makanan sehari-hari bagi orang-orang yang punya nilai,karna semakin tinggi pohon menjulang maka akan semakin kencang pula angin bertiup untuk merobohkannya.

Seorang pengkritik tidak akan pernah membiarkan diri kita tampak lebih baik darinya dimata orang-orang,mereka akan terus mencari sesuatu yang dapat mengurangi kredibilitas kita,mata mereka akan begitu awas dan telinga mereka akan lebih tajam untuk mencari kekurangan yang ada pada diri kita,tapi jika mereka melihat suatu kelebihan yang ada pada diri kita maka mereka akan diam seribu bahasa,seperti sebuah perkataan bijak,”seekor lalat hanya akan hinggap pada yang luka.”

Lalu bagaimana solusi agar kita terbebas dari kritik?jawabannya mudah,jangan pernah jadi orang yang bernilai,jadilah orang bodoh yang manggut-manggut mendengarkan apa kata orang dan jangan membela prinsip yang kita yakini kebenarannya,atau dengan kata lain jadilah mayat hidup demi menyenangkan mereka.

Yang perlu kita ingat adalah bahwa seorang pengkritik hanya akan melontarkan anak panah mereka ke arah burung-burung yang terbang tinggi dilangit dan mereka takkan mau menendang seekor anjing yang sudah mati,hal itu tidak ada manfaatnya bagi mereka,mereka mendapatkan sebuah kepuasan dengan mengkritik orang-orang yang tampak hebat dimata masyarakat.Jadi,jika kita mendapat banyak kritikan dari orang-orang maka kita patut berbangga diri karna hal itu adalah sebuah pertanda bahwa kita adalah orang yang cukup bernilai di mata masyarakat.

Anggaplah kritikan itu sebagai dengungan lalat yang terbang disekitar telinga kita,mungkin cukup mengganggu tapi sama sekali tidak menyebabkan kita terluka.Kita tidak perlu khawatir saat seseorang melontarkan berbagai macam kritikan yang tidak berdasar kepada kita jika kita merasa telah melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya karna tak seorangpun akan mendengarkan kritikan-kritikan tak berdasar mereka kecuali oleh orang-orang yang sama rendahnya dengan mereka.

Kritik adalah sebuah fenomena alam yang sangat biasa sebagaimana matahari pagi yang terbit dari sebelah timur setiap harinya,kita tak perlu menanggapinya terlalu serius dan menghabiskan begitu banyak energi untuk sekedar memikirkannya.

Kita tidak perlu terlalu bertindak “defensif” untuk membantah setiap perkataan mereka.Kita akan menghadapi banyak sekali masalah jika kita menghabiskan banyak waktu hanya untuk meyakinkan dunia bahwa kita benar.

Jika kita senantiasa membalas dan membela diri dari setiap cercaan yang dialamatkan pada kita maka kita akan terjebak dalam adu mulut yang berkepanjangan sehingga akan berakhir pada permusuhan.
Ibarat api yang berkobar,jika kita menambahkan ranting kering kedalamnya maka api itu akan membesar,namun jika kita mendiamkannya maka api itu akan padam dengan sendirinya karna kehabisan enegi.

Ada seorang pendengki menghampiri seorang alim yang cukup disegani masyarakat,tanpa alasan yang jelas ia mencerca dan memakinya sementara sang alim hanya diam mendengarkan tanpa sekalipun membalas ucapannya.

Karna tidak ada respon dari sang alim maka si pendengki kehabisan kata-kata dan terdiam,didorong oleh rasa penasarannya ia bertanya pada sang alim,”aku sudah memakimu dengan semua kata-kata yang menyakitkan,namun kenapa engkau tidak tersinggung sedikitpun?”

Sang alim tersenyum lembut dan berkata,”aku mencoba mendengar apa yang kau ucapkan,namun ketika aku tahu bahwa tidak ada satu kalimatpun dari ucapanmu yang bermanfaat maka aku hanya mendengarkan iramanya saja tanpa mempedulikan kata-katanya,karna aku tidak mendengarkan kata-katanya maka tentu saja aku tidak sakit hati.”

Nabi Muhammad saw pernah bersabda,”laknat akan menimpa orang yang dilaknat jika ia memang pantas untuk menerimanya,namun jika ia tidak pantas untuk menerimanya maka laknat itu akan kembali kepada yang melaknatnya.”hal tersebut ibarat orang yang mencoba meludahi langit namun ludah itu justru jatuh pada mukanya sendiri.

Sebab itu kita tidak perlu terlalu khawatir jika seseorang mencoba merusak kredibilitas kita,seperti perkataan KH Abdullah Gymnastiar,”kita tidak akan hina dengan dihina karna tiap-tiap perbuatan buruk akan kembali kepada pelakunya.”

Namun,sebagai orang yang senantiasa berusaha memperbaiki diri dan bersikap bijak terhadap hidup,kita sangat perlu untuk merenungkan tentang kenapa seseorang senantiasa memberikan berbagai macam kritik kepada kita karna boleh jadi_dan seringkali demikian_kritikan yang dialamatkan kepada kita memang benar adanya,jika memang begitu tentu kita tak boleh merasa sakit hati dan seharusnya kita berterimakasih kepada si pembuat kritik tersebut,kita meski belajar untuk tidak terlalu sensitif agar diri kita terhindar dari dendam kesumat.

Obat itu memang seringkali pahit rasanya namun jika kita ingin sembuh maka kita harus memaksakan diri untuk menelannya,dalam hidup ini kita lebih sering belajar dari musuh-musuh kita daripada teman kita sendiri.Orang yang membenci kita takkan segan-segan menunjukkan berbagai macam kesalahan kita,berbeda dengan teman kita sendiri yang mungkin akan bersikap hati-hati dalam meluruskan tingkah laku kita karna khawatir akan merusak persahabatan yang sudah terjalin.

Lalu,bagaimana jika seseorang terus menerus mencerca dan memaki kita padahal kita merasa telah melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan kita benar-benar merasa bahwa cercaan dan makiannya sangat mengganggu dan merusak kredibilitas yang kita miliki?Apakah kita harus selalu diam mengalah?

Jika kita memang merasa perlu untuk membalasnya maka kita harus menerima konsekuensinya,bahwa dia akan menjadi musuh kita,namun tentu saja memiliki musuh adalah sesuatu yang bisa mengganggu kehidupan kita,kita tetap harus memiliki sebuah pemikiran bahwa,”seribu teman itu kurang sedangkan seorang musuh sudah terlalu banyak.”

Namun,jika hanya demi mencari kedamaian dan menghindari permusuhan tentu bukan hal yang bijaksana jika kita harus mengorbankan harga diri kita,karna saya pernah mendengar perkataan seorang alim,”tidak sempurna amal ibadah seseorang yang tidak menjaga harga dirinya.”

Jadi,sebagai jalan terakhir_namun semoga kita tidak memakainya_kita bisa membalasnya dengan sebuah kalimat yang menusuk dan menghujam,namun kita harus benar-benar yakin bahwa perkataan kita tersebut benar-benar dapat membungkam ucapannya,jika kita tidak yakin dapat mengalahkannya maka alangkah lebih baik jika kita tetap menahan diri,lebih baik kita mencapai kedudukan seri daripada mengambil resiko untuk kalah.

Jika kita telah dapat membungkam ucapannya,maka hapuslah namanya dari ingatan dan kita tidak perlu berhubungan dengannya lagi karna berhubungan dengannya hanya akan merusak ketentraman hidup kita,kita tidak perlu membenci siapapun karna rasa benci itu adalah sebuah penyakit,kita lupakan saja setiap kesalahan orang yang kita benci dan janganlah mencari urusan lagi dengannya,selamanya.

Suatu ketika Imam Syafi’i mendapatkan banyak caci maki yang tidak pada tempatnya sedangkan beliau hanya diam dengan penuh kesabaran,setelah caci maki itu selesai beliau berkata dengan sangat tenang namun tepat sasaran,”berbicaralah sesukamu untuk menghina kehormatanku,diamku adalah sebuah jawaban,bukannya aku tidak punya jawaban,hanya saja tidak pantas bagi seekor singa meladeni seekor anjing.”

Namun,sekali lagi saya mengingatkan bahwa mencoba menanggapi orang yang senang mencerca kita hendaknya tidak kita lakukan kecuali jika memang sangat terpaksa,filosofi sederhana untuk menggambarkan hal ini adalah seandainya ada seekor anjing gila lewat didepan mata kita maka alangkah lebih baiknya jika kita mengacuhkannya dan membiarkannya berlalu,hal itu tentu lebih baik daripada kita berhasil membunuhnya tapi setelah anjing itu berhasil menggigit kaki kita.
 
;